Kamis, 14 Maret 2013

DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN


Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan adalah sebuah eselon I di bawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perimbangan keuangan.
Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang perimbangan keuangan
b. pelaksanaan kebijakan di bidang perimbangan keuangan
c. penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang perimbangan keuangan
d. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perimbangan keuangan
e. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Menurut PMK nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, struktur organisasi di DJPK adalah sebagai berikut:
1) Sekretariat Direktorat Jenderal
2) Direktorat Dana Perimbangan
3) Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
4) Direktorat Pembiayaan dan Kapasitas Daerah
5) Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah
6) Kelompok Jabatan Fungsional

Fungsi dan tugas struktur organisasi DJPK
A). Sekretariat Direktorat Jenderal
mempunyai tugas melaksanakan koordinasi pelaksanaan tugas serta pembinaan dan pemberian dukungan administrasi kepada semua unsur di lingkungan direktorat  Jenderal.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1186, Sekretariat Direktorat Jenderal menyelenggarakan fungsi:
a.  koordinasi kegiatan direktorat jenderal;
b. koordinasi dan fasilitasi penyusunan peraturan di bidang hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
c. penyelenggaraan pengelolaan urusan organisasi dan ketatalaksanaan, kepegawaian, dan keuangan serta pembinaan jabatan fungsional pada direktorat jenderal;
d. koordinasi penyusunan rencana kerja, rencana anggaran, rencana strategik, dan laporan akuntabilitas kinerja direktorat jenderal;
e.  koordinasi dan pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan aparat pengawasan fungsional dan pengawasan masyarakat;
f.    koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pendampingan hukum dan pertimbangan hukum;
g.   pelaksanaan tata usaha, kearsipan, dokumentasi, dan perpustakaan direktorat jenderal; dan
h.   pelaksanaan urusan rumah tangga dan perlengkapan direktorat jenderal.
Sekretariat Direktorat Jenderal terdiri atas:
a. Bagian Perencanaan dan Organisasi;
b. Bagian Kepegawaian;
c. Bagian Keuangan;
d. Bagian Umum; dan
e. Kelompok Jabatan Fungsional.

B)    Direktorat Dana Perimbangan
 Mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang dana perimbangan.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1205, Direktorat Dana Perimbangan menyelenggarakan fungsi:
a. penyiapan perumusan kebijakan di bidang dana perimbangan;
b. penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang dana perimbangan;
c. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang dana perimbangan;
d. penyiapan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang dana perimbangan; dan
e. pelaksanaan urusan tata usaha direktorat.
Direktorat Dana Perimbangan terdiri atas:
a. Subdirektorat Dana Bagi Hasil Pajak;
b. Subdirektorat Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam;
c. Subdirektorat Dana Alokasi Umum;
d. Subdirektorat Dana Alokasi Khusus;
e. Subdirektorat Pelaksanaan Transfer I;
f. Subdirektorat Pelaksanaan Transfer II;
g. Subbagian Tata Usaha; dan
h. Kelompok Jabatan Fungsional.

C) Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1233, Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyelenggarakan fungsi:
a. penyiapan perumusan kebijakan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah;
b. penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah;
c. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang pajak daerah dan retribusi daerah;
d. penyiapan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pajak daerah dan retribusi daerah; dan
e. pelaksanaan urusan tata usaha direktorat.
Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terdiri atas:
a. Subdirektorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah I;
b. Subdirektorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah II;
c. Subdirektorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah III;
d. Subdirektorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah IV;
e. Subdirektorat Sinkronisasi dan Dukungan Teknis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
f. Subbagian Tata Usaha; dan
g. Kelompok Jabatan Fungsional.

D). Direktorat Pembiayaan dan Kapasitas Daerah
mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembiayaan dan kapasitas daerah.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1257, Direktorat
Pembiayaan dan Kapasitas Daerah menyelenggarakan fungsi:
a. penyiapan perumusan kebijakan di bidang pembiayaan dan kapasitas daerah;
b. penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang pembiayaan dan kapasitas daerah;
c. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang pembiayaan dan kapasitas daerah;
d. penyiapan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembiayaan dan kapasitas daerah; dan
e. pelaksanaan urusan tata usaha direktorat.
Direktorat Pembiayaan dan Kapasitas Daerah terdiri atas:
a. Subdirektorat Pinjaman Daerah;
b. Subdirektorat Hibah Daerah;
c. Subdirektorat Pembiayaan Penataan Daerah;
d. Subdirektorat Investasi dan Kapasitas Keuangan Daerah;
e. Subdirektorat Penatausahaan Pembiayaan Daerah;
f. Subbagian Tata Usaha; dan
g. Kelompok Jabatan Fungsional.

E). Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah
mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang evaluasi pendanaan dan informasi keuangan daerah.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1281, Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah menyelenggarakan fungsi:
a. penyiapan perumusan kebijakan di bidang evaluasi pendanaan dan informasi keuangan daerah;
b. penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang evaluasi pendanaan dan informasi keuangan daerah;
c. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang evaluasi pendanaan dan informasi keuangan daerah;
d. penyiapan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang evaluasi pendanaan dan informasi keuangan daerah; dan
e. pelaksanaan urusan tata usaha direktorat.
Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah terdiri atas:
a. Subdirektorat Evaluasi Dana Desentralisasi dan Perekonomian Daerah;
b. Subdirektorat Evaluasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan;
c. Subdirektorat Akuntansi dan Pelaporan Transfer ke Daerah;
d. Subdirektorat Data Keuangan Daerah;
e. Subdirektorat Informasi dan Dukungan Teknis;
f. Subbagian Tata Usaha; dan
g. Kelompok Jabatan Fungsional.

F). Kelompok Jabatan Fungsional
 mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai dengan jabatan fungsional masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(1) Kelompok Jabatan Fungsional terdiri dari sejumlah jabatan fungsional yang terbagi dalam berbagai kelompok sesuai dengan bidang keahliannya.
(2) Setiap kelompok tersebut pada ayat (1) Pasal ini dikoordinasikan oleh pejabat fungsional senior yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal.
(3) Jumlah jabatan fungsional tersebut pada ayat (1) Pasal ini ditentukan berdasarkan kebutuhan dan beban kerja.
(4) Jenis dan jenjang jabatan fungsional diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selasa, 26 Februari 2013

AUDIT KUALITAS OUTPUT: AUDIT HAL "GAIB"?


Sebuah proses menghasilkan dua macam output berdasarkan aspek penilaiannya: yang pertama adalah output yang dinilai berdasarkan kuantitas (kuantitatif), yang kedua adalah output yang dinilai berdasarkan kualitasnya (kualitatif). Output yang dinilai berdasarkan kuantitas biasanya merupakan output yang dihasilkan melalui produksi berupa barang sedangkan output yang dinilai berdasarkan kualitas biasanya dihasilkan melalui produksi berupa jasa. Cara menentukan hasil kinerja berupa output itu tergantung dari jenis apakah output tersebut, untuk output yang berorientasi pada kuantitas, cara mengaudit kinerjanya hanya menghitung berapa banyak output yang dihasilkan pada periode tertentu.
Lalu bagaimana dengan output yang berorientasi kualitas? Bisakah kita meraba kualitas? Bukankah kualitas hanya bisa dirasakan? Bukan dihitung atau diukur?
Baiklah, saya akan mencoba memberikan gambaran. Bagaimana output dihasilkan? Output dihasilkan dari adanya input yang diproses. Tanpa adanya input, tidak ada yang dapat diproses sehingga menghasilkan output, tanpa adanya proses, input tetaplah input. Jadi syarat output adalah adanya input dan proses pengolahannya. Kualitas output ditentukan oleh input dan prosesnya. , di sekolah-sekolah, pelajar, pengajar, fasilitas penunjang menjadi input, kegiatan belajar mengajar dan program pengembangan diri menjadi proses pencetakan output, dan lulusan dari sekolah tersebut menjadi outputnya. Bagaimana cara menilai kualitas output dari sekolah tersebut? Mudah sekali, tinggal dilihat saja bagaimana cara lulusan tersebut menjadi berguna dari proses yang telah dijalani. Semakin berguna dia dengan apa yang telah dia dapatkan melalui proses belajar mengajar, semakin berkualitaslah dia. Begitu pula dengan output dari program-program lain, output semakin berkualitas jika berguna dalam hal pelayanan (nilai outcome yang tinggi).
Lalu, apa sajakah teknik yang digunakan dalam mengukur output yang bersifat kualitatif tersebut? Berikut ini merupakan teknik-teknik dalam mengukur kualitas output:
1.   Mengukur nilai ekonomi, efisiensi, dan efektifitas kinerja.
Teknik ini digunakan untuk mengukur seberapa baikkah sebuah entitas mengolah sumber dayanya.
2.   Menilai kualitas output berdasarkan kunci keberhasilan output.
Mula-mula ditetapkan kriteria keberhasilan output, lalu ditentukan apakah criteria keberhasilan tersebut dipenuhi atau tidak.
3.   Mengukur indikator kinerja
Menentukan apakah sumber daya yang diolah sudah benar, pengolahannya sudah benar, dan outputnya menghasilkan outcome dan benefit.

Link:
4.   www.gao.gov
7.   www.vtv.fi

Senin, 18 Februari 2013

SEJARAH AUDIT KINERJA SEKTOR PEMERINTAH DI INDONESIA


Audit kinerja merupakan salah satu dari tiga jenis audit (audit keuangan, audit kinerja, dan audit dengan tujuan tertentu. I Gusti Agung Rai (2010, 31) menyatakan bahwa “audit kinerja adalah audit yang dilakukan secara objektif dan sistematis terhadap berbagai macam bukti untuk menilai kinerja entitas yang diaudit dalam hal ekonomi, efisiensi, dan efektivitas dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja dan entitas yang diaudit dan meningkatkan akuntabilitas publik.”
                      
Pasal 4 ayat (3) UU No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara mendefinisikan audit kinerja sebagai audit atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas audit aspek ekonomi dan efisiensi serta audit aspek efektivitas.

Leo Herbert dalam bukunya Auditing the Performance of Management memberikan gambaran bahwa audit kinerja mengalami proses, demikian juga dengan pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan. Sebelum mencapai bentuknya, audit kinerja mengalami berbagai perubahan: dimulai dari financial statement auditing (audit laporan keuangan) pada tahun 1930, management auditing (audit manajemen) pada tahun 1950, dan program auditing (audit program) pada tahun 1970, akhirnya pada tahun 1971, Elmer B.Staat untuk pertama kali memperkenalkan performance audit (audit kinerja).

Audit kinerja merupakan salah satu upaya mewujudkan akuntabilitas pemerintah dalam lingkup akuntabilitas kinerja. Selain audit kinerja, kita juga mengenal adanya audit kepatuhan (compliance audit) dalam upaya mewujudkan akuntabilitas kinerja pemerintah yang bertujuan untuk mengarahkan kegiatan tetap dalam aturan yang berlaku.

Audit kinerja memiliki kaitan dengan audit operasional (operational audit), ketika audit kinerja memfokuskan diri pada 3E (ekonomis, efisien, dan efektif), maka audit operasional akan memfokuskan diri pada sumber daya yang digunakan dan output yang dihasilkan dalam operasi/kegiatan yang dilakukan. 

Membicarakan sejarah audit kinerja sektor publik di Indonesia berarti membicarakan sejarah lembaga pengawasan internal pemerintah.
Lembaga pengawasan ini dimulai sejak sebelum era kemerdekaan. Besluit nomor 44 tanggal 31 Oktober 1936 menyatakan bahwa Djawatan Akuntan Negara (DAN) / Regering Accountantdienst bertugas melakukan penelitian terhadap pembukuan dari berbagai perusahaan negara dan jawatan tertentu dan dapat dikatakan bahwa aparat pengawasan pertama di Indonesia adalah DAN. Secara structural, DAN yang bertugas mengawasi pengelolaan perusahaan negara berada di bawah Thesauri Jenderal pada Kementerian Keuangan.
Keadaan berubah ketika disahkannya PP Nomor 9 tahun 1961 tentang Instruksi bagi Kepala Djawatan Akuntan Negara (DAN). Kedudukan DAN dilepas dari Thesauri Jenderal dan ditingkatkan kedudukannya langsung di bawah Menteri Keuangan. DAN merupakan alat pemerintah yang bertugas melakukan semua pekerjaan akuntan bagi pemerintah atas semua departemen, jawatan, dan instansi di bawah kekuasaannya. Sementara itu fungsi pengawasan anggaran dilaksanakan oleh Thesauri Jenderal. Selanjutnya dengan Keputusan Presiden Nomor 239 Tahun 1966 dibentuklah Direktorat Djendral Pengawasan Keuangan Negara (DDPKN) pada Departemen Keuangan. Tugas DDPKN (dikenal kemudian sebagai DJPKN - Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara) meliputi pengawasan anggaran dan pengawasan badan usaha/jawatan, yang semula menjadi tugas DAN dan Thesauri Jenderal. DJPKN mempunyai tugas melaksanakan pengawasan seluruh pelaksanaan anggaran negara, anggaran daerah, dan badan usaha milik negara/daerah. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 1971 ini, khusus pada Departemen Keuangan, tugas Inspektorat Jendral dalam bidang pengawasan keuangan negara dilakukan oleh DJPKN.

Dengan diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tanggal 30 Mei 1983. DJPKN ditransformasikan menjadi BPKP, sebuah lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tentang BPKP adalah diperlukannya badan atau lembaga pengawasan yang dapat melaksanakan fungsinya secara leluasa tanpa mengalami kemungkinan hambatan dari unit organisasi pemerintah yang menjadi obyek pemeriksaannya. Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah telah meletakkan struktur organisasi BPKP sesuai dengan proporsinya dalam konstelasi lembaga-lembaga Pemerintah yang ada. BPKP dengan kedudukannya yang terlepas dari semua departemen atau lembaga sudah barang tentu dapat melaksanakan fungsinya secara lebih baik dan obyektif.

Tahun 2001 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah,terakhir dengan Peraturan Presiden No 64 tahun 2005. Dalam Pasal 52 disebutkan, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pendekatan yang dilakukan BPKP diarahkan lebih bersifat preventif atau pembinaan dan tidak sepenuhnya audit atau represif. Kegiatan sosialisasi, asistensi atau pendampingan, dan evaluasi merupakan kegiatan yang mulai digeluti BPKP. Sedangkan audit investigatif dilakukan dalam membantu aparat penegak hukum untuk menghitung kerugian keuangan negara.

Pada masa reformasi ini BPKP banyak mengadakan Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman dengan pemda dan departemen/lembaga sebagai mitra kerja BPKP. MoU tersebut pada umumnya membantu mitra kerja untuk meningkatkan kinerjanya dalam rangka mencapai good governance.

Sesuai arahan Presiden RI tanggal 11 Desember 2006, BPKP melakukan reposisi dan revitalisasi fungsi yang kedua kalinya. Reposisi dan revitalisasi BPKP diikuti dengan penajaman visi, misi, dan strategi. Visi BPKP yang baru adalah "Auditor Intern Pemerintah yang Proaktif dan Terpercaya dalam Mentransformasikan Manajemen Pemerintahan Menuju Pemerintahan yang Baik dan Bersih".

Dengan visi ini, BPKP menegaskan akan tugas pokoknya pada pengembangan fungsi preventif. Hasil pengawasan preventif (pencegahan) dijadikan model sistem manajemen dalam rangka kegiatan yang bersifat pre-emptive. Apabila setelah hasil pengawasan preventif dianalisis terdapat indikasi perlunya audit yang mendalam, dilakukan pengawasan represif non justisia. Pengawasan represif non justisia digunakan sebagai dasar untuk membangun sistem manajemen pemerintah yang lebih baik untuk mencegah moral hazard atau potensi penyimpangan (fraud). Tugas perbantuan kepada penyidik POLRI, Kejaksaan dan KPK, sebagai amanah untuk menuntaskan penanganan TPK guna memberikan efek deterrent represif justisia, sehingga juga sebagai fungsi pengawalan atas kerugian keuangan negara untuk dapat mengoptimalkan pengembalian keuangan negara.

Sementara itu, berdiri pula aparat pengawas internal di masing-masing kementerian yang disebut Inspektorat Jenderal (Itjen) yang bertugas menyelenggarakan fungsi pengawasan dan pemeriksaan atas pelaksanaan kegiatan administrasi umum, keuangan, dan kinerja; pelaporan hasil pemeriksaan atas pelaksanaan, serta pemberian usulan tindak lanjut temuan pengawasan dan pemeriksaan; pemantauan dan evaluasi atas tindak lanjut temuan pengawasan dan pemeriksaan; serta pengembangan dan penyempurnaan sistem pengawasan.



Sumber:
1.      Rai, I Gusti Agung. 2010. Audit Kinerja pada Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat
2.      www.bpkp.go.id
3.      www.id.wikipedia.org

     Links:

1.      www.depkeu.go.id
2.      www.bpk.go.id
3.      www.stan.ac.id
4.      www.gao.gov
5.      www.oag-bvg.gc.ca
6.      www.rekenkamer.nl
7.      www.vtv.fi
8.      www.anao.gov.au
9.      www.intosai.org